Operasi plastik merupakan upaya rekonstruksi
kulit yang dilakukan karena sebab-sebab tertentu. Secara lebih khusus
dalam dunia medis dikenal istilah face off atau upaya merekontruksi
wajah yang rusak karena suatu musibah agar kembali seperti semula. Face
off tersebut merupakan penemuan teknologi kedokteran yang dilakukan
dengan sistem bedah dan bila perlu dengan mengganti bagian-bagian wajah
yang rusak dengan bagian tubuh lainnya.
Pertanyaannya,
bagaimanakah hukum operasi plastik, atau lebih khusus, face off
(merekonstruksi wajah) agar kembali seperti semula?
Dalam bahtsul
masail Munas Alim Ulama NU di Surabaya, 2006, diputuskan bahwa
merekonstruksi wajah agar kembali seperti semula hukumnya adalah boleh,
namun dalam batas-batas tertentu.
Praktik face off ini lebih
sering dilakukan oleh kaum perempuan. Dalam Fathul Bari Syarah Shahihil
Bukhari, karya Ibnu Hajar al-Asqalani disebutkan qoul imam Ath-Thabari
bahwa perempuan tidak boleh merubah sesuatu dari bentuk asal yang telah
diciptakan Allah SWT, baik menambah atau mengurangi agar kelihatan
bagus. Seperti, seorang perempuan yang alisnya berdempetan, kemudian ia
menghilangkan (bulu alis) yang ada di antara keduanya, agar kelihatan
cantik atau sebaliknya (kelihatan jelek dengan berdempetannya).
Atau
seorang perempuan yang memiliki gigi lebih lalu ia mencabutnya; atau
giginya panjang lalu ia memotongnya; atau perembuan itu berjenggot atau
berkumis atau berbulu di bawah bibirnya lalu mencabutnya; dan seorang
perempuan yang rambutnya pendek atau tipis lalu ia memanjangkannya atau
menebalkannya dengan rambut orang lain; Semua itu adalah termasuk
perbuatan yang dilarang, karena merubah apa yang telah diciptakan oleh
Allah SWT.
Ath-Thabari berpendapat pula, terkecuali jika ada
bagian tubuh yang menimbulkan madarat dan rasa sakit. Seperti, seorang
perempuan yang memiliki gigi lebih atau giginya panjang yang
mengganggunya ketika makan, atau memiliki jemari lebih yang
mengganggunya atau menjadikan sakit maka boleh mencabut atau
memotongnya. Dalam masalah yang terakhir ini, laki-laki sama dengan
perempuan.
Bagaimana jika terjadi cacat fisik akibat kecelakaan?
Syekh Wabah az-Zuhaili, dalam al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu,
berpendapat bahwa boleh melakukan pemindahan organ tubuh dari suatu
tempat ke tempat lain dalam satu tubuh manusia dengan catatan bahwa
manfaat yang diharapkan dari operasi itu lebih kuat ketimbang madarat
yang ditimbulkannya. Pemindahan tersebut disyaratkan untuk menumbuhkan
kembali anggota yang hilang, mengembalikan bentuknya, mengembalikan
fungsinya semula, memperbaiki aib, dan atau untuk membuang noda, yang
semu itu dapat menyebabkan seseorang mengalami tekanan jiwa atau fisik.
Abdul Karim Zaidan, dalam al-Mufashshal fi Ahkamil Mar’ati wal
Baitil Muslim membuat ibarat berikut: Kadang-kadang pada wajah perempuan
atau anggota tubuh lainnya yang tampak terdapat cacat yang buruk akibat
terbakar, luka atau penyakit. Cacat itu menjadi beban berat karena
dapat menyebabkan tekanan batin terhadap perempuan itu. Apakah boleh
melakukan operasi untuk menghilangkan cacat tersebut?
Ia
menjawab, boleh, meskipun operasi itu mengarah kepada upaya mempercantik
diri. Sebab, tujuan pertamanya adalah menghilangkan cacat yang ada.
Meskipun, dengan melakukan operasi untuk menghilangkan cacat tersebut,
perempuan itu bermaksud mempercantik diri. Dengan demikian, operasi
seperti ini termasuk pada tataran mubah (boleh), karena keinginan
perempuan mempercantik wajahnya adalah jaiz (boleh).
Disarikan dari Ahkamul Fuqoha, kumpulan hasil-hasil bahtsul masail dalam Munas dan Muktamar NU dari tahun 1926-2010. (Redaktur: A. Khoirul Anam)
Sumber: nu.or.id/



Kamis, Mei 03, 2012
wawan sragentina
0 komentar:
Posting Komentar